MENYOAL UU MINERBA : REVISI ATAU EKSEKUSI ???
(Penerapan larangan ekspor bahan mentah tambang dan Manfaatnya di Sultra)
Oleh : ANDRI DARMAWAN, SH.
Penulis adalah Advokat/Direktur LKKP Sultra
Semangat yang ingin dicapai dalam UU Minerba adalah meningkatkan nilai tambah dari proses produksi mineral dan batubara, yang diharapkan dapat mendatangkan pajak bagi negara. Namun semangat pemerintah untuk untuk meningkatkan nilai tambah produksi mineral dan batu bara mendapatkan penentangan dari sejumlah pihak baik dari perusahaan pertambangan luar negeri maupun dari perusahaan pertambagan dalam negeri termasuk yang akhir-akhir ini ramai adalah demo yang mengatasnamakan pekerja tambang yang menolak penerapan pasal 102, 103 dan pasal 170 UU minerba yng berimplikasi pada larangan ekspor bahan mentah hasil tambang.
Jalan berliku larangan ekspor hasil tambang
Dalam Undang Undang No. 4 tahyn 2009 (UU No.4/2009) tentang pertambangan mineral dan batu bara sebenarnya sudah diatur tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Pada pasal 102 UU No.4/2009 disebutkan bahwa “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.” Selanjutnya diatur pasal 103 ayat (3) “Ketentuan lebihlanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Khusus untuk pemegang kontrak karya diberikan perlakuan khusus sebagaimana pasal 170 UU No. 4/2009 disebutkan “Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Upaya pemerintah untuk membatasi ekspor bahan mentah hasil tambang sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2012 melalui Menteri ESDM sudah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral dan melalui Menteri Keuangan sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, Pemerintah juga mengeluarkan aturan bea keluar baru sebesar 20 persen untuk 65 komoditas mineral mentah. Namun hal itu tidak efektif kerena ada penentangan khususnya dari pengusaha pertambangan dalam negeri dengan alasan belum siap untuk membangun pabrik pengolahan/pemurnian dan terkait adanya diskriminasi dengan pemegang kontrak karya (Perusahaan asing) yang diberikan dispensasi waktu untuk pengolahan/pemurnian 5 (lima) tahun atau sampai dengan tahun 2014. Penentangan itu akhirnya berbuah hasil berupa pembatalan Peraturan Menteri ESDM No 7/2012 oleh Mahkamah Agung, kemudian menteri ESDM merubah Peraturan Menteri ESDM No 7/2012 dengan Peraturan Menteri ESDM No 12/2012. Pemerintah juga memanggil para pengusaha pertambangan. Hasilnya, pemerintah dan pelaku usaha sepakat, kewajiban pengolahan dan pemurnian bijih mineral dijalankan pada 12 Januari 2014 sesuai dengan amanat UU Minerba. Pemberlakuan kewajiban pengolahan dan pemurnian disepakati berlaku efektif pada tahun 2014. Ada 213 pengusaha pemegang IUP yang telah menandatangani kesepakatan itu dalam pakta integritas.
Revisi atau Eksekusi ???
Akhir tahun 2013 dan memasuki bulan Januari tahun 2014 muncul lagi perdebatan mengenai larangan ekspor bahan mentah hasil tambang, reaksi kembali muncul dari pengusaha pertambangan dan protes dari organisasi yang mengatasnamakan pekerja tambang. Alasan penolakan kali ini diusung dengan tema ancaman PHK terhadap jutaan pekerja tambang apabila diberlakukan penerapan UU minerba, dan terkait infrasturktur yang tidak disediakan pemerintah untuk mendukung pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian (smelter) sehingga muncul desakan agar UU minerba direvisi agar tidak membatasi pengusaha untuk melakukan ekspor bahan tambang dan tidak timbul PHK jutaan pekerja tambang. Tetapi reaksi tersebut tidak membuat pemerintah bergeming, pada bulan Januari ini pemerintah telah mengeluarkan regulasi untuk mendukung penerapan pasal 102, 103 dan pasal 170 UU Minerba, setidaknya ada 4 (empat) peraturan yang terkait tentang peningkatan nilai tambah mineral/batubara yaitu Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2014, Permen ESDM No. 1 tahun 2014, Peraturan Menteri Perdagangan No. 4 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Keuangan no. 6 tahun 2014.
Mencermati hal tersebut kiranya kita harus melihat secara jernih dari beberapa aspek tarmasuk mengaitkan kepentingan nasional terhadap penarapan UU minerba tersebut; Pertama, Bahwa penerapan UU minerba khususnya pasal 102, 103 dan pasal 170 adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, pengolahan/pemurnian hasil tambang adalah amanat undang-undang yang harus dilakukan secara tegas dan konsisten mengingat bahwa Indonesia sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam sangat ironi bahwa negara kita terus-menerus menjadi pengekspor bahan mentah hasil tambang tetapi tidak mampu untuk mendirikan pabrik untuk mengolah hasil tambang. Pendapatan negara yang diperoleh dari kegiatan ekspor tersebut juga dirasakan lebih kecil dibandingkan apabila dilakukan pengolahan/pemurnian hasil tambang didalam negeri sebelum diekspor. Kedua, keinginan untuk merevisi UU minerba juga tidak sejalan dengan semangat pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalammnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kekayaan alam indonesia sudah seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar dapat memberikan manfaat besar bagi kemakmuran rakyat, dengan pola penambangan ekstraktif dan hanya menjual bahan mentah hasil tambang tentunya tidak akan mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan ingat bahwa pendapatan dari hasil tambang bukan hanya khusus dinikmati oleh pengusaha dan pekerja tambang tapi lebih penting dari itu menjadi hak yang harus dinikmati oleh seluruh rakyat indonesia sehingga harus dimanfaatkan dengan baik agar dapat meningkatan pendapatan negara untuk kepentingan pembangunan nasional. ketiga bahwa kekhawatiran terhadap PHK jutaan pekerja tambang sebenarnya hanya menjadi alasan yang sengaja dimunculan untuk menimbukan suatu ironi dan kesan bahwa pemerintah sewenang-wenang, pengusaha tambang sebenarnya sudah cukup diberikatan waktu 5 (lima) tahun untuk mempersiapkan pabrik (smelter) agar setelah pemberlakuan UU minerba tidak ada alasan lagi bahwa perusahaan belum siap karena belum ada pabrik(smelter) sehingga perusahaan akan tetap operasi dan tidak perlu ada PHK pekerja tambang. Kewajiban perusaahan tambang untuk mendirikan pabrik (smelter) kalau dihitung sebenarnya akan lebih menguntungkan pekerja tambang karena dengan berdirinya pabrik maka akan menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dan dijamin bahwa perusahaan tersebut akan beroperasi jangka panjang karena telah berinvestasi besar, tidak seperti selama ini kebanyakan tenaga kerja hanya digunakan sebagai operator alat berat dan truk dan hanya digunakan sementara waktu karena banyak perusahaan yang hanya beroperasi jangka pendek untuk mendapatkan keuntungan dari ekspor bahan mentah tanpa ada kesungguhan untuk membangun pabrik (smelter). Keempat Hanya saja, sebaiknya bahan minerba yang sudah diolah tidak ditujukan semata-mata untuk diekspor, walaupun kegiatan ekspor di bidang minerba dapat meningkatkan cadangan devisa negara kita, tetapi kita juga harus mengutamakan kepentingan kebutuhan energi nasional. Situasi akan berbeda jika bahan minerba yang sudah diolah tersebut dipergunakan untuk kepentingan dalam negeri terlebih dahulu dan untuk keamanan energy (energy security) kita di masa depan.
Masalah pertambangan di Sultra dan Manfaat larangan ekspor nikel
Kebobrokan pengelolaan tambang di daerah ini bukan cerita baru, sudah banyak berita yang dirilis oleh media mengenai masalah pertambangan beserta sejumlah konflik pertambangan yang terjadi. Dari data yang dirilis Pemprov Sultra, jumlah perusahan tambang yang beroperasi (memiliki IUP) di Sultra mencapai 528 IUP. Jumlah itu tersebar di 12 kabupaten/kota di Sultra, IUP pertambangan sebagaian besar adalah pertambangan nikel. Masalah pertambangan di Sultra meliputi izin yang tidak prosedural, penerbitannya tanpa diverifikasi. Akibatnya, sejumlah IUP melanggar aturan, tumpang tindih dengan wilayah kuasa pertambangan lain, merambah hutan konversi dan produksi, juga merusak lingkungan.selain itu sering timbul konflik dengan masyarakat terkait sengketa lahan dalam lokasi tambang dan juga sering berujung pada pergesekan atara warga dengan aparat keamanan yang melakukan pengamanan dilokasi lahan tambang.
Kegiatan pertambangan di Sultra juga menimbulkan masalah yang serius terhadap lingkungan, disejumlah daerah terlihat bekas-bekas lubang di kawasan perbukitan yang tanah dan bebatuannya sudah dikeruk dengan alat berat. Kawasan yang rusak itu bukan hanya di perbukitan, melainkan juga hingga ke pesisir pantai yang banyak direklamasi menjadi tempat penimbunan (stockpile) bijih nikel sebelum dipindahkan ke tongkang. Perusahaan tambang banyak yang bermodal pas-pasan dan hanya ingin mengambil keuntungan yang besar dari kegiatan ekspor bahan mentah hasil tambang sehingga sering mengabaikan kegiatan reklamasi pasca tambang dan meninggalkan begitu saja lokasi tambang setelah selesai melakukan kegiatan penambangan tanpa menghiraukan dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan tersebut.
Kegiatan pertambangan di Sultra juga dirasakan masih kurang memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah. Data Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor pertambangan untuk provinsi Sultra tahun 2012 sebesar Rp. 162.976.717.971. padahal hasil ekspor tahun 2012(98 % adalah ekspor hasil tambang) senilai US$ 285,62 juta atau sekitar Rp. 2.856.200.000.000. (data BPS Sultra). Demikian halnya juga dengan penyerapan tenaga kerja dari sekitar 528 IUP yang tesebar di Sulawesi Tenggara ternyata tidak mampu membuka lapangan pekerjaan yang signifikan buat masyarakat Sulawesi Tenggara. Tercatat pada agustus 2013, sektor pertambangan cuma mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 15,36 % itupun hasil ini sudah digabung dengan sektor lainnya yaituBangunan, Angkutan, Listrik gas & air minum, Pertambangan dan Keuangan(data BPS Sultra)
Untuk itu kiranya tidak ada alasan untuk tidak mendukung penerapan UU minerba, setidaknya di daerah Sultra diperlukan untuk menata kembali kegiatan pertambangan yang selama ini dilakukan sangat ekstraktif dan mengabaikan kelestarian lingkungan, disamping itu diharapkan dapat menambah pendapatan daerah dan menyerap tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya. Kita harus mengatakan penolakan kepada para penguasaha tambang yang hanya bermodal pas-pasan kemudian menggeruk hasil tambang secara serampangan, tidak memperdulikan kelestarian lingkungan dan tidak mempunyai komitmen untuk membangun pabrik (smelter), kerena yang akan merasakan dampaknya kemudian hari adalah masyarakat Sultra itu sendiri.