Bab 1 — Panggilan Tak Terduga
Saya tidak akan lupa hari itu—19 Oktober 2024, di Toronipa. Kami sedang mengadakan rapat kerja LBH HAMI. Suasana biasa saja, hingga dua rekan saya dari Konawe Selatan, La Hamildi dan Kasran, datang menghampiri dengan wajah serius. Mereka bercerita tentang satu kasus yang sedang mereka tangani. Bukan kasus besar, katanya. Tapi cukup membuat hati gelisah.
Seorang guru perempuan, Supriyani namanya. Dituduh menganiaya muridnya. Tuduhan yang berat, apalagi untuk seorang pendidik. Tapi yang membuat saya terdiam, bukan hanya tuduhannya—melainkan bagaimana kasus ini berjalan.
Menurut La Hamildi, bukti yang ada sangat lemah. Tak ada visum yang meyakinkan. Tak ada saksi orang dewasa yang benar-benar melihat kejadian, hanya berdasarkan keterangan saksi anak. Tapi Ibu Supriyani sudah ditahan oleh jaksa. Bahkan, seorang oknum jaksa yang menangani kasus ini sempat menyampaikan: “Sidang nanti tak usah ajukan eksepsi. Kita percepat saja prosesnya.”
Perkataan itu menghentak saya. Ini bukan soal teknis hukum. Ini soal nurani. Seorang guru, yang seharusnya dilindungi saat menjalankan tugasnya, justru diperlakukan seperti penjahat. Tanpa pembelaan, tanpa kesempatan membela diri dengan layak.
Saya menatap La Hamildi dan berkata, “Ajukan eksepsi. Bela Ibu Supriyani baik-baik. Jangan biarkan sidang ini jadi formalitas. Kita harus berdiri untuk beliau.”
Karena hari itu saya sadar—ini bukan hanya soal satu guru. Ini tentang siapa pun yang bisa jadi korban ketika hukum mulai kehilangan keadilan.
Tiga hari setelah rapat di Toronipa, pada 22 Oktober 2024, saya akhirnya bertemu langsung dengan Ibu Supriyani. Pertemuan itu berlangsung di Kantor LBH HAMI Sultra di Kemaraya, Kota Kendari.
Beliau datang bersama beberapa guru, Camat, Kepala Desa, dan beberapa rekan dari NGO yang peduli dengan kasusnya. Ia baru saja dibebaskan setelah penahanannya ditangguhkan oleh Pengadilan Negeri Andoolo. Secara hukum, ia belum bebas. Tapi secara batin, saya bisa lihat—dia sedang mencoba bertahan di tengah guncangan yang tidak kecil.
Tubuhnya tampak lelah. Matanya sembab. Tapi ia datang dengan keberanian yang, bagi saya, luar biasa.
Saya langsung bertanya, tanpa basa-basi, “Bu, apakah benar Ibu melakukan penganiayaan seperti yang dituduhkan itu?”
Ia menggeleng. Tangisnya pecah. Dengan suara bergetar, ia bersumpah tidak pernah sekalipun menyakiti muridnya. Ia menangis seperti seseorang yang tidak hanya kehilangan martabatnya, tapi juga harga dirinya sebagai seorang guru yang selama ini ia jaga diam-diam dalam kesunyian.
Saya hanya bisa duduk di depannya dan mencoba menenangkan. Tidak ada kalimat yang bisa menghapus luka semacam itu. Tapi satu hal yang saya katakan dengan yakin: “Bu, saya akan bela Ibu di pengadilan. Kita akan berjuang bersama-sama di pengadilan. Saya janji.”
Hari itu, pertemuan itu, semakin menguatkan keyakinan saya: ini bukan hanya perkara hukum. Ini tentang memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar bebas atau tidak bebas. Ini tentang melawan perlakuan semena-mena terhadap mereka yang tidak punya kuasa. Tentang memastikan bahwa mereka yang paling lemah tetap punya tempat di hadapan hukum.
Dan dalam kasus ini, yang paling lemah adalah seorang guru honorer dengan gaji tiga ratus ribu rupiah per bulan—yang telah didudukkan di kursi terdakwa, tanpa dasar yang kuat, tanpa perlindungan yang layak.