CATATAN SUPRIYANI #3

Bab 3 — Hari Itu di Sekolah

Tuduhan terhadap Ibu Supriyani berawal dari satu peristiwa yang disebut terjadi pada hari Rabu, 24 April 2024, sekitar pukul 10 pagi, di ruang kelas 1A SDN 4 Baito, Desa Wonua Raya, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan.

Menurut Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tiga anak memberikan keterangan—MCDW sebagai pihak yang mengaku menjadi korban, dan dua temannya, AS serta IN. Ketiganya menyampaikan hal yang sama: bahwa Ibu Supriyani memukul MCDW di dalam kelas pada pukul 10 pagi.

Dari keterangan tiga anak inilah, perkara pidana dibentuk. Ibu Supriyani dituduh melakukan penganiayaan terhadap anak, dengan segala konsekuensi hukum yang menyertainya. Namun tuduhan ini berdiri tanpa penopang bukti lain. Hasil visum yang tidak sesuai dengan penampakan luka. Keterangan saksi anak yang berubah-ubah. Tidak ada saksi dewasa. Hanya satu versi cerita yang langsung dipercaya begitu saja.

Sementara itu, keterangan Ibu Supriyani sangat berbeda. Ia dengan tegas menyatakan bahwa pada waktu kejadian yang dimaksud, ia tidak pernah masuk ke ruang kelas 1A. Sejak pukul 08.00 pagi, ia mengajar di ruang kelas 1B dan tidak pernah meninggalkan ruangan itu hingga pelajaran selesai pukul 10.00. Seluruh proses belajar berlangsung seperti biasa—mengajar, memberi soal, memeriksa tugas. Ibu guru Lilis Herlina Dewa (guru Kelas 1 A)  menjadi saksi bahwa Bu Supri berada dikelasnya IB sedang mengajar dan tidak pernah keluar dari kelas selama jam belajar.

Dengan kata lain, saat kejadian disebut terjadi, Ibu Supriyani sedang berada di tempat lain. Ia tidak berada di ruang kelas 1A. Ia tidak ada di lokasi yang dituduhkan.

Logikanya sederhana: tuduhan ini lemah sejak awal. Penganiayaan terhadap anak adalah tuduhan serius. Tapi jika hanya didasarkan pada keterangan anak-anak tanpa pengujian lebih lanjut, tanpa alat bukti lain, dan alibi yang kuat diabaikan begitu saja—maka ini bukan proses mencari kebenaran. Ini bentuk lain dari kelalaian. Atau bisa jadi, memang disengaja.

Dalam sistem hukum yang sehat, perkara seperti ini seharusnya dihentikan sejak awal. Tapi yang terjadi, justru sebaliknya. Tuduhan diproses, dakwaan disusun, dan Ibu Supriyani nyaris diseret ke pengadilan tanpa diberi kesempatan membela diri dengan layak.

Dan semua itu bermula dari satu hari biasa di sekolah. Satu hari yang tiba-tiba mengubah hidup seorang guru. Satu hari yang menunjukkan betapa mudahnya hukum memberatkan yang lemah, dan melupakan keadilan yang seharusnya dijunjung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *