Angata Tak Sakit—Ia Sedang Melawan

Mereka menyebut Angata “sakit” karena menolak investasi. Mereka mencaci masyarakat sebagai “aktivis hitam”, seolah-olah mempertahankan tanah leluhur adalah tindakan kriminal. Tapi mereka lupa bahwa Angata bukan sakit—Angata sedang melawan.

Sejak kapan memperjuangkan hak atas tanah dianggap sebagai hambatan pembangunan?

Kisah ini bukan cerita baru. Ia sudah dimulai sejak 1996, saat PT. Sumber Madu Bukari (SMB) datang ke Angata dengan janji surga: pabrik gula terbesar di Indonesia, ribuan lapangan kerja, dan kemakmuran bagi semua. Tapi alih-alih gula, warga Angata hanya mendapat rasa pahit: lahan dirampas, tanaman dihancurkan, rumah dan kuburan tua dibuldozer. Ganti rugi dijanjikan Rp. 300 per meter, tapi yang diterima tak lebih dari Rp.100—bahkan itu pun disertai intimidasi aparat. Manipulasi foto dengan kalung bertuliskan “lunas” di leher mereka.

Ini bukan investasi. Ini penindasan berbaju korporasi.

Ketika SMB akhirnya bangkrut dan dinyatakan pailit tahun 2003, masyarakat kembali ke tanah mereka—menggarap, menanam, dan hidup mandiri selama dua dekade. Namun damai itu hanya sementara. Pada 2018, PT. Marketindo Selaras—anak perusahaan konglomerasi perkebunan—masuk sebagai penerus proyek lama. Dengan pendekatan yang sama: klaim sepihak tanpa legalitas yang sah, sosialisasi sepihak, dan penggusuran sepihak.

Lagi-lagi, masyarakat disudutkan. Kali ini, dengan senjata yang lebih halus tapi lebih mematikan: legalitas palsu, dokumen bodong, dan intimidasi sistematis. Pada 2025, perusahaan bahkan memerintahkan karyawannya membawa senjata tajam untuk mengawal penggusuran. Tanaman rakyat dirusak, rumah dibongkar, dan ancaman ditebar di tanah yang telah mereka olah sejak abad ke-19.

Di tengah semua itu, para pembela investasi menyebut warga sebagai penghambat kemajuan. Tapi mari kita tanya: berapa sebenarnya kontribusi perusahaan itu bagi Angata?

Jawabannya mencolok: 60 orang karyawan tetap, dan sekitar 300 buruh lepas yang direkrut hanya saat ada pembibitan atau penanaman. Mereka dibayar murah, tanpa jaminan sosial, dan bisa diganti kapan saja. Ini bukan pemberdayaan. Ini adalah eksploitasi berbasis kebutuhan sesaat. Bandingkan itu dengan ribuan warga yang kehilangan akses terhadap tanah, mata pencaharian, dan masa depan mereka.

Benarkah ini investasi yang membangun? Atau sekadar pemutihan perampasan?

Ironisnya, segala bentuk protes warga justru dicap sebagai penghambat. Mereka yang berdiri untuk mempertahankan haknya disebut “aktivis hitam”. Padahal merekalah yang menyelamatkan Angata dari menjadi ladang perampokan legal. Mereka yang bertahan, membela tanahnya dengan tubuh dan suara, bukan anti pembangunan—mereka adalah benteng terakhir keadilan agraria.

Berulang kali masyarakat Angata membuka ruang dialog. Berita acara kesepakatan sudah diteken, pemerintah daerah sudah ikut menengahi, bahkan BPN sendiri pernah diminta menunda proses HGU. Tapi semua diabaikan. Yang dipilih adalah pendekatan represi dan infiltrasi, bukan musyawarah dan rekonsiliasi.

Maka jangan heran jika warga Angata melawan. Mereka tidak sedang “menolak kemajuan”. Mereka hanya menolak dihancurkan oleh mesin investasi yang buta dan arogan.

Angata tidak butuh investor yang membawa traktor dan senjata tajam. Angata butuh pengakuan, keadilan, dan perlindungan atas hak hidup mereka. Jika negara abai, dan korporasi terus menjajah, maka perlawanan adalah satu-satunya bahasa yang tersisa.

Dan perlawanan itu bukan penyakit. Ia adalah gejala sehat dari masyarakat yang masih punya keberanian untuk berkata: cukup sudah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *