
Oleh: Andri Darmawan
Advokat, Pembela Kaum Lemah
Di tengah kampanye pemerintah tentang transformasi hukum dan investasi berkelanjutan, kasus PT. Marketindo Selaras di Konawe Selatan justru menghadirkan potret buram penegakan hukum dan keberpihakan negara terhadap korporasi. Perusahaan ini diduga melakukan kegiatan usaha perkebunan skala besar tanpa Hak Guna Usaha (HGU) dan izin usaha perkebunan yang sah. Lebih buruk lagi, mereka diduga menggunakan cara-cara koersif: menggusur rumah warga dengan dalih legalitas semu dan mengerahkan preman yang menyamar sebagai karyawan.
Fenomena ini bukan sekadar konflik agraria biasa. Ini adalah bentuk corporate impunity yang berlangsung di ruang kosong penegakan hukum.
Hukum Dilanggar, Negara Diam?
Padahal secara tegas, Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (yang telah diubah dengan UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023) menyatakan bahwa usaha perkebunan hanya sah dilakukan jika perusahaan memiliki hak atas tanah dan perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Kedua syarat ini bersifat kumulatif, bukan alternatif. Mahkamah Konstitusi pun menguatkannya dalam Putusan Nomor 138/PUU-XIII/2015.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan PT. Marketindo Selaras telah mengoperasikan kegiatan budi daya tanpa HGU. Bahkan, sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 45 Tahun 2019, perusahaan diwajibkan mulai menanami paling sedikit 30% dari lahan dalam waktu tiga tahun sejak diberikan hak atas tanah, artinya PT. Marketindo Selaras baru bisa melakukan kegiatan perkebunan setelah sebelumnya memperoleh status hak atas tanah (HGU).
Premanisme Berkedok Investasi
Laporan warga menyebut bahwa penggusuran dilakukan dengan kekerasan dan intimidasi, menggunakan orang-orang yang disebut sebagai “karyawan perusahaan”, padahal bertindak layaknya preman. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif; ini tindakan yang mengancam rasa aman masyarakat dan stabilitas sosial. Ini adalah konflik struktural antara rakyat dan korporasi, yang diperparah oleh abainya negara.
Jika merujuk pada Pasal 47 UU Perkebunan, sanksi administratif seperti penghentian kegiatan dan denda seharusnya sudah dijatuhkan. Namun sampai hari ini, negara tampak gamang, bahkan cenderung permisif. Hukum seakan hanya tajam ke bawah.
Berharap pada Kejaksaan ?
Sebagai aparat penegak hukum, Kejaksaan memiliki mandat yang jelas sesuai Pasal 30B dan 30C UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Mereka tak hanya berwenang dalam perkara pidana, tetapi juga berperan dalam penegakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta menjaga ketertiban dan ketentraman umum.
Pertanyaannya, mengapa belum ada langkah tegas terhadap PT. Marketindo Selaras? Apakah harus menunggu lebih banyak korban lagi akibat konflik pertanahan yang tak berkesudahan?
Harapan ini begitu besar pada Kejaksaan ditengah kenyataan melemahnya penegakkan hukum terhadap pelanggaran hukum PT. Marketindo Selaras.

Momentum Menata Arah
Kasus ini bukan hanya soal pelanggaran izin. Ini soal paradigma: apakah hukum masih melindungi rakyat, atau telah menjelma menjadi tameng bagi modal? Konawe Selatan adalah cermin dari dilema nasional kita: antara retorika pembangunan dan kenyataan eksklusi sosial.
Sudah waktunya negara, melalui Kejaksaan dan instansi lainnya, bertindak. Pemanggilan, pemeriksaan, dan bahkan penghentian operasi PT. Marketindo Selaras bukan sekadar penegakan hukum—tapi juga pesan moral bahwa tanah, hukum, dan martabat rakyat tidak bisa dibeli.
Jika hukum terus gagal menegakkan dirinya, jangan salahkan jika rakyat mulai menegakkannya dengan caranya sendiri.
Rakyat bangkit bersama orang orang hebat seperti Bung Andre
terima kasih bang